Wednesday, March 20, 2013

al-Tabsirah fi Ushul al-Fiqh

 
Kitab al-Tabshirah fi Ushul al-Fiqh (Ulasan tentang Usul Fiqh) adalah salah satu kitab karangan Abu Ishaq al-Syirazi, salah seorang ulama penting dalam mazhab Syafi'i yang hidup pada abad 5 Hijriyah. Tema kitab ini, sebagaimana tergambar dalam judulnya, adalah mengenai ushul al-fiqh atau teori hukum Islam. Kitab ini ditulis oleh al-Syirazi sebelum kitab yang lain yang lebih ringkas dan mengenai tema yang sama, al-Luma' fi Ushul al-Fiqh (Kilatan-Kilatan Cahaya).
Kitab yang terakhir ini lebih populer di pesantren-pesantren NU. Kiai Sahal Mahfuz (Ketua MUI sekarang), misalnya, sering membaca kitab ini, entah untuk "pengajian kilat" selama bulan puasa, atau untuk pengajian biasa di luar Ramadan. Di dunia kesarjanaan Barat, kitab ini dikenal melalui terjemahan dan analisis kritis yang dikerjakan oleh sarjana Perancis Eric Chaumont dalam bukunya yang berjudul Kitab al-Luma fi Usul al-Fiqh; le Livre des Rais illuminant les fondements de la compréhension de la loi: Traité de théorie légale musulmane.

Sekedar catatan mengenai karir al-Syirazi: puncak karir intelektual al-Syirazi dicapai di Baghdad saat dia menjabat sebagai profesor di bidang fiqh mazhab Syafi'i di al-Madrasah al-Nizamiyyah atau Nizamiyyah College yang didirikan oleh Nizam al-Mulk (w. 1092), seorang perdana menteri dalam kesultanan Saljuk yang dikenal cinta ilmu. Sebagaimana kita tahu, fokus pengajaran di Madrasah Nizamiyyah di Baghdad (ada cabangnya yang lain di beberapa wilayah, seperti Nisapur) adalah kalam atau teologi menurut akidah Ash'ariyyah dan fiqh menurut mazhab Syafi'i. Madrasah ini bisa dianggap sebagai bertanggung jawab atas tersebarnya doktrin Asy'ariyyah di dunia Sunni sejak abad kelima Hijriyah.

Yang menarik adalah format kitab al-Tabsirah ini. Tidak sebagaimana karya-karya ushul fiqh belakangan, kitab ini ditulis dengan gaya dialektik atau jadal. Hampir seluruh pembahasan dalam buku ini berisi perdebatan antara posisi intelektual yang diambil al-Syirazi berhadapan dengan lawan-lawannya. Kalau kita telaah dengan cermat, gaya kitab ini persis dengan kitab al-Risalah yang ditulis oleh Imam Syafi'i. Kedua kitab itu merupakan semacam polemik untuk mempertahankan suatu tesis tertentu melawan lawan-lawan diskusi yang ada di seberang. Inilah yang disebut dengan jadal -dikenal sebagai disputatio dalam tradisi dunia Latin yang saya duga terpengaruh oleh tradisi dalam Islam.

Debat semacam ini bisa diinterpretasikan bahwa usul fiqh sebagai sebuah disiplin belum seluruhnya mapan benar pada tahap itu, yakni abad empat dan lima. Meskipun pada masa al-Syirazi, ushul fiqh tentu sudah berkembang lebih jauh dibanding pada masa Imam al-Syafi'i yang hidup dua abad sebelumnya. Karena belum seluruhnya mapan, maka dapat kita maklumi jika kita melihat perdebatan yang sengit dalam kitab itu antara al-Shirazi dan lawan-lawannya. Ini persis dengan debat antara Imam al-Syafi'i dan lawan-lawannya dalam al-Risalah (yang dianggap sebagai buku pertama yang meletakkan landasan di bidang ushul fiqh). Kita bisa menyaksikan perdebatan semacam ini dalam tahan formasi atau perkembangan awal sebuah disiplin ilmu.

Kitab al-Tabsirah ini dibuka dengan cara yang tak lazim seperti kita kenal dalam karya-karya usul fiqh dalam periode belakangan. Umumnya kitab-kitab usul fiqh yang lain dibuka dengan pembicaraan tentang pengertian mengenai ujaran Tuhan (al-khithab) dan hukum (al-hukm al-syar'i) serta karakternya. Karya al-Syirazi ini dibuka dengan sebuah pembahasan tentang teori perintah (al-amr). Ini bisa dimengerti karena "perintah" adalah fondasi dalam hukum Islam.

Ada aspek yang menarik dalam bab pembukaan tentang teori perintah ini. Meskipun secara umum al-Syirazi mengikuti doktrin Asy'ariyyah, tetapi dalam buku ini seringkali dia mengambil posisi intelektual yang independen. Dalam diskusi soal apakah perintah memiliki redaksi atau ekpresi verbal tertentu, misalnya, dia mengambil posisi yang berbeda dengan kelompok Asy'ariyyah. Menurut kelompok yang terakhir ini, perintah tidak memiliki redaksi atau ekspresi verbal tertentu. Kata "if'al" yang artinya "kerjakanlah" dan dianggap sebagai bentuk paling standar dari sebuah perintah tidak secara intrinsik mengandung efek amar atau perintah kecuali ada konteks atau bukti lain yang menyertainya -apa yang dalam ushul fiqh disebut dengan "qarinah". Ini adalah pendapat kelompok Asy'ariyyah.

al-Syirazi mengambil posisi yang berbeda. Dia berpendapat bahwa secara intrinsik ungkapan "kerjakanlah" dan semacamnya mengandung makna perintah lepas dari bukti-bukti pendukung eksternal. Dengan kata lain, ujaran mengandung makna dalam dirinya sendiri.

Dua teori ini, menurut saya, sangat menarik jika dielaborasi lebih lanjut untuk melihat asumsi-asumsi (katakan saja semacam "pre-conscious") yang dianut oleh sarjana fikih klasik tentang karakter ujaran atau bahasa. Ini tentu wilayah riset yang sangat menarik. Teori al-Syirazi agak mirip-mirip dengan teori sastra dari kalangan formalis seperti dikembangkan oleh Roman Jakobson -bahwa teks sastra bisa berdiri bendiri sebagai sebuah sistem yang lengkap tanpa mengandaikan konteks eksternal di luar dirinya. Sementara itu, teori Asy'ariyah lebih dekat dengan teori sastra kontekstual (jika istilah ini bisa dipakai). Tentu ini perbandingan yang tak seluruhnya tepat, sekedar untuk mendekatkan perdebatan klasik dalam khazanah Islam dengan perdebatan serupa di era modern.

Teori kelompok Asy'ariyah terus terang menarik perhatian saya. Tepatnya, saya lebih simpati kepada pendapat kelompok ini ketimbang pendapat al-Syirazi. Jika ujaran tidak bisa mengandung makna tanpa mempertimbangkan konteks tertentu, tentu hal ini mempunyai dampak yang sangat "radikal" dalam memahami teks-teks agama, terutama teks Quran dan Sunnah.

Secara praktis, misalnya, kita bisa mengatakan hal berikut ini: jika ada sebuah "sunnah qauliyyah" atau ujaran Nabi yang secara verbal diucapkan dalam bentuk perintah (misalnya "panjangkan jenggot"), maka ujaran itu tidak dengan sendirinya menunjuk kepada makna tertentu (dalam konteks contoh yang saya sebut di atas berarti perintah memanjangkan jenggot) tanpa melihat konteks pendukung. Ujaran itu sendiri tak mampu men-generate suatu makna atau pengertian dari dalam dirinya sendiri. Pendapat kelompok Asy'ariyyah ini jelas lebih berwatak kontekstual dan "historis".

Ini berbeda dengan pendapat al-Syirazi yang cenderung lebih "tekstual", atau tepatnya "internalistik" -dalam pengertian, suatu teks bisa menunjuk kepada suatu makna dan pengertian tertentu dari dalam dirinya sendiri.

Ini hanyalah salah satu cara untuk meng-interpretasi teks klasik dari al-Syirazi. Tentu interpretasi ini terbuka pada kritik. Saya melihat, debat soal teori perintah dalam karya klasik ushul fiqh ini sangat membantu untuk memperkaya debat-debat Islam di era modern sekarang yang dalam beberapa hal mengulang tema lama, tetapi kadang dengan argumentasi yang kurang kreatif.

Karya al-Syirazi ini menantang sarjana Muslim modern, antara lain untuk melihat bagaimana tradisi "disputatio" atau debat dialektis berlangsung dan dipraktekkan di masa klasik Islam. Al-Syirazi sendiri adalah seorang "dialectician" atau pelaku debat yang handal. Dia menulis semacam manual bagaimana seorang harus berdebat dalam lingkungan fikih. Untuk tujuan ini, dia menulis buku al-Ma'unah fi al-Jadal (Panduan untuk Berdebat).

Banyak karya yang ditulis oleh sarjana Islam klasik mengenai etika berdebat (adab al-munazarah) ini. Salah satu karya yang terkenal dalam bidang ini adalah kitab karangan seorang sarjana fikih dari lingkungan mazhab Hanbali, Ibn 'Aqil al-Hanbali, "Kitab al-Jadal 'Ala Tariqat al-Fukaha." Sayang sekali, karya-karya ini, setahu saya, sudah tak pernah lagi dibaca di pesantren atau lembaga pendidikan Islam di Indonesia.
 
Semoga catatan sederhana tentang karya al-Syirazi ini berguna.
 

No comments:

Post a Comment